A. Pengertian Perkawinan
1. Pengertian secara etimologi/bahasa
Istilah/kata perkawinan dalam fiqh dikenal dengan istilah nikah نكاح)) dan zawaj (زواج). Kedua kata ini, nakaha dan zawaja
yang menjadi istilah pokok dalam al-Qur’an untuk menunjuk pengertian
perkawinan (pernikahan). Sebenarnya kata nikah itu sendiri sudah menjadi
bahasa Indonesia.
Secara etimologi kata نكاح berarti الجمع = berkumpul, berhimpun.
Adapun kata زواج berarti pasangan. Dengan demikian, dari sisi bahasa,
perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan
berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra. Kata زواج
dalam berbagai bentuknya terulang tidak kurang dari 80 kali dalam
al-Qur’an. Sementara kata نكاح dalam berbagai bentuknya ditemukan 23
kali. Dengan demikian dari kedua istilah yang digunakan untuk
menunjukkan perkawinan (pernikahan) dapat dikatakan, bahwa dengan
pernikahan menjadikan seseorang mempunyai pasangan. (Khoiruddin
Nasution, Hukum Perkawinan 1, hlm. 17).
Dalam pada itu ada pula pendapat bahwa secara bahasa, kata نكاح , selain berarti al-jam’u, juga
bisa berarti الضَّمُّ berarti menghimpit, dan الدُّخُول berarti
memasuki atau دخول الشيئ فى الشيئ masuknya sesuatu kepada sesuatu.
Orang Arab menyebut kata nikah dengan maksud الوطء (hubungan seksual).
Akad perkawinan disebut nikah karena dengan adanya akad tersebut
terjadi hubungan seksual (As-San’aniy, Subul as-Salam, III: 109). Perlu dikemukakan juga bahwa kata nikah menurut para ulama mempunyai dua arti, arti hakiki dan arti majazi, yaitu wat’un atau akad. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah makna hakiki dari kata nikah, wat’un atau akad. Menurut ulama Hanafiyah, nikah arti hakikinya ialah wat’un (setubuh) sedangkan art majazinya akad. Menurut ulama Syafi’iyah, nikah arti hakikinya akad sedangkan arti majazinya ialah wat’un. Menurut Abul Qasim az-Zajjad, Ibn Hazm, bahwa dalam kata nikah bersyarikat antara makna akad dan setubuh.
2 Pengertian secara istilah
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan perkawinan (pernikahan)
secara istilah. Ulama klasik lebih berorientasi kepada kehalalan
hubungan seksual. Sebagai contoh, ulama Hanafiyah mendefinisikan nikah
dengan:
عقد وُضع لتملّك المـتـعة بالانثى قصدا
“Akad yang memfaedahkan hak memiliki bersedap-sedap terhadap seorang wanita dengan sengaja”.
Dimaksud dengan hak memiliki bersedap-sedap ialah tertentunya suami
memanfaatkan seks isteri beserta bagian badannya sebagai alat
bersenang-senang. Dimaksudkan dengan memiliki ialah kehalalan
bersenang-senang, bukan memiliki sebagai milik kebendaan (al-Hushary, an-Nikah wa al-Qadaya al-Muta’aliqatu bih, hlm. 8).
Ulama Syafi’iyah merumuskan nikah dengan:
عقد يتضمّن اِباحةَ وطءٍ بلفظ انكاحٍ أو تزوّج أو ترجمته
“Akad yang mengandung kebolehan hubungan seksual dengan ucapan nikah atau tazwija atau terjemahannya” (Ar-Ramly, Nihayatul Muhtaj, VI: 138).
Menurut definisi ini akad nikah mengakibatkan kebolehan wata’, tidak memiliki wanita yang dinikahi.
Al-Jaziri dalam kitabnya Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, IV: 2, mendefinisikan dengan:
عقد وضعه الشارع ليرتب عليه انتفاع الزوج ببضع الزوجة وسائر بدنها من حيث التلذذ
“Suatu akad yang ditetapkan syara’ agar dengan akad itu menjadi
(berakibat) suami berhak mengambil manfaat kemaluan isterinya dan
seluruh badannya untuk bersenang-senang”
Definisi di atas kesemuanya menitik beratkan kepada badan isteri
sebagai obyek akad dan hanya meninjau dari hak dan kepentingan suami
terhadap isterinya, tidak mengemukakan akibat akad itu yang berupa hak
dan kewajiban yang timbal balik antara keduanya serta tujuan perkawinan.
Bandingkan dengan definisi di bawah ini :
Dr. Mustafa as-Siba’iy dalam karyanya al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, hlm. 32-33 merumuskan pernikahan dengan:
عقد بين رجل وامرأة احلّ له شرعا غايته انشاء رابطة للحياة المشتركة والنسل
“Suatu akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
dihalakan menurut syara’ yang bertujuan menumbuhkan ikatan untuk hidup
bersama dan berketurunan”.
Dalam definisi ini ditegaskan bahwa akad nikah itu adalah akad antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan (dalam definisi yang dikemukkan
fuqaha sebelumnya tidak tegas siapa yang mengadakan akad). Sekalipun
tidak dijelaskan mengenai akibat dari akad perkawinan yang berupa hak
dan kewaiban, tetapi dalam defini ini sudah ada kemajuan dengan
disebutkan tujuan dari adanya akad yaitu hidup bersama dan berketurunan.
Menurut Muhammad Abu Ishrah pernikahan yaitu:
عقد يفيد حلّ العشرة بين الرجل والمرأة وتعاونهما ويُـحَدُّ مالكليهما من حقوق وما عليه من واجبات
“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan bergaul antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan dan mengadakan tolong menolong dan
membatasi (menentukan) hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban
bagi masing-masingnya”.
Dalam definisi ini dijelaskan bahwa perkawinan itu selain
mengakibatkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan yang
dilandasi prinsip tolong menolong juga mengakibatkan adanya hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak.
Dari beberapa rumusan di atas sekalipun secara redaksional berbeda,
tetapi ada yang disepakati, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu
akad, suatu ikatan.
Lebih lanjut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
dalam Pasal 1, perkawinan dirumuskan dengan “ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari rumusan perkawinan di atas dapat digaris bawahi bahwa perkawinan
itu sebuah perikatan, tetapi tidak sekedar perikatan melainkan ikatan
lahir dan batin dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia,
sejahtera, tentram. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat
ar-Rum (30) ayat 21.
B. Dasar Hukum dan Hukum Melakukan Perkawinan
1. Dasar hukum perkawinan
Allah menciptakan segala sesuatu secara berpasangan, ada jantan dan
ada betina, ada laki-laki dan ada perempuan, ada panas dan ada dingin,
ada malam dan ada siang. Pada makhluk hidup, selain diciptakan secara
berpasangan juga diberikan instink tertarik kepada lawan jenisnya.
Kondisi demikian sebagai sarana untuk mempertahankan eksistensi makhluk
tersebut.
ومن كلّ شيئ خلقنا زوجين لعلّكم تذكّرون (الذاريات: 49 )
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.
سبحن الذى خلق الازواج كلّها ممّا تنبت الارض ومن انفسهم وممّا لايعلمون (يس: 36 )
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun
dari apa yang tidak mereka ketahui”.
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui
perkawinan dengan melalui prosedur dan aturan. Apabila manusia dalam
menyalurkan instink seksnya seperti makhluk lainnya yang bebas
mengikuti naluri dalam berhubungan antara jantan dan betina maka akan
terjadi anarkis. Oleh karena itu sesuai dengan martabat kemuliaan
manusia maka bagi manusia dalam penyaluran instink seksnya diatur
melalui aturan perkawinan.
Allah mensyari’atkan perkawinan bagi umatnya. Dalil-dalil yang
menunjukan kepada pensyari’atan perkawinan dan hukumnya adalah sebagai
berikut:
- فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع فان خفتم الا تعدلوا فوحدة او ما ملكت ايمانكم (النساء : 3)
- وانكحوا الايامى منكم والصالحين من عبادكم وامائكم …( ألنور : 32 )
- يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن
للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء (رواه البخارى
ومسلم)
- … فقال ما بال أقوام قالوا كذا وكذا لكني أصلي وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني (رواه مسلم)
Dari ayat dan hadis di atas dapat diketahui bahwa perkawinan itu
disyari’atkan oleh Islam. Hal ini sejalan dengan tujuan diciptakan
manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk memakmurkan dunia.
Kemakmuran dunia tergantung kepada adanya manusia. Perkawinan merupakan
media untuk keberlangsungan hidup manusia karena dengan perkawinan
terjadilah keturunan yang berkembang biak dengan teratur.
2. Hukum melakukan perkawinan
Walaupun perkawinan itu disyari’atkan akan tetapi para ulama berbeda
pendapat mengenai hukum melakukan perkawinan. Ada tiga pendapat mengenai
hukum melakukan perkawinan, yaitu:
a. Menurut Daud ad-Dahiry, Ibn Hazm, dan Imam Ahmad dalam satu
riwayat berpendapat bahwa melakukan perkawinan hukumnya wajib. Mereka
ini beralasan bahwa perintah kawin dalam surat an-Nisa’ ayat 3 dan
perintah mengawinkan dalam surat an-Nur ayat 32, semuanya menunjukkan
kepada perintah wajib atas dasar qaidah bahwa setiap sigat amar itu
menunjukkan “wajib” secara mutlak. Hukum wajib dimaksud adalah satu kali
kawin untuk seumur hidup. Menurut Ibn Hazm perintah wajib tersebut
ditujukan kepada orang yang tidak inin (impotent).
b. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat
berpendapat bahwa melakukan perkawinan hukumnya sunah, karena dalam
surat an-Nisa’ ayat 3 disebutkan: … فإن خفتم الاّ تعدلوا فواحدة او
ماملكت ايمانكم
Menurut ayat ini jalan halal mendekati wanita ada dua cara, yaitu menikah dan dengan tasarri, yakni memiliki jariyah (budak perempuan). Tasarri
hukumnya tidak wajib, demikian menurut ijma. Ayat 3 surat an-Nisa
membolehkan takhyir antara menikah dan tasarri. Menurut Usul Fiqh, tidak
ada pilihan antara wajib dan tidak wajib, karena yang dikatakan wajib
itu adalah suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan. Atas dasar demikian,
menurut kelompok ini perintah menikah atau perintah menikahkan dalam
ayat dan hadis di atas hanyalah menujukkan kepada sunnat.
c. Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa hukum menikah itu mubah,
alasannya karena dalam surat an-Nisa’ ayat 3 Allah menyerahkan untuk
memperoleh wanita dengan cara menikah atau dengan cara tasarri. Hal itu menujukkan bahwa antara keduanya sama derajatnya. Menurut ijma tasarri hukumnya mubah. Dengan demikian menikah juga hukumnya mubah (tidak sunnat) karena tidak ada pilihan antara sunnat dan mubah.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hukum menikah itu
diperselisihkan, ada yang mengatakan wajib, sunnat, dan mubah. Perbedaan
pendapat dalam masalah ini menimbulkan adanya perselisihan mengenai
manakah yang afdal, berkhalwat untuk beribadah sunnat dengan tidak
menikah ataukah meninggalkan ibadah sunnat untuk menempuh kehidupan baru
dengan jalan menikah.
3. Hukum melakukan perkawinan dilihat dari kondisi pelakunya
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tersebut di atas, hukum
melakukan perkawinan juga bisa dilihat dari kondisi orang yang akan
melakukan perkawinan dan tujuan melakukannya. Oleh karena itu bagi orang
perorang melakukan perkawinan bisa dikategorikan wajib, sunnat, haram,
makruh atau mubah.
a. Wajib, yaitu bagi orang yang sudah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin apabila tidak kawin ia akan tergelincir ke dalam
perbuatan yang dilarang yaitu zina. Hal ini didasarkan kepada suatu
pemikiran bahwa bagi setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak
melakukan perbuatan yang dilarang. Apabila penjagaan diri itu dengan
cara kawin, maka hukum perkawinan itu wajib, sesuai dengan qaidah:
مالا يتم الواجب الا به فهو واجب
“Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya maka sesuatu itu hukumnya wajib.”
b. Sunnat, yaitu bagi orang yang sudah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin, tetapi apabila tidak kawin tidak khawatir akan
berbuat zina. Penetapan hokum sunnat ini adalah adanya anjuran al-Qur’an
dan al-hadis yang disebutkan di atas yang menerangkan sikap agama Islam
terhadap perkawinan. Baik ayat al-Qur’an maupun al-hadis bersifat
perintah, tetapi berdasarkan qarinah-qarinah yang ada, perintah tadi
tidak memfaedahkan hokum wajib, tetapi sunnat saja.
c. Haram, yaitu bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan
tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila kawin akan terlantar
dirinya dan isteri serta keluarganya, maka hokum melakukan perkawinan
bagi orang tersebut adalah haram. Surat al-Baqarah ayat 195 melarang
orang mekakukan hal-hal yang mendatangkan kerusakan.
ولا تلقوا بأيدكم إلى التهلكة …
d. Makruh, yaitu bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk kawin
tapi juga mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak jatuh ke
dalam perbuatan zina, sekiranya tidak kawin.Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewjiban suami isteri.
e. Mubah, yaitu bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk kawin
tapi juga mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak jatuh ke
dalam perbuatan zina, sekiranya tidak kawin.Apabila kawin ia tidak akan
menelantarkan isteri. Perkawinan orang ini hanya untuk kesenangan
bukan atas dasar agama dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah juga
bisa diterapkan kepada orang yang antara pendorong dan penghambatnya
untuk kawin sama.
C. Tujuan Perkawinan
Tidak sama istilah yang dipakai para ahli dalam menyebutkan tujuan
perkawinan, di samping ada yang memakai istilah tujuan, ada juga yang
memakai istilah manfaat, dan ada juga yang memakai istilah faedah serta
ada pula yang menyebutnya dengan hikmah perkawinan. Demikian juga para
ahli tidak sama dalam menyebutkan banyaknya tujuan perkawinan serta
urut-urutannya. Dalam pembahasan ini dipakai istilah tujuan.
Menurut Khoiruddin Nasution, penetapan tujuan perkawinan didasarkan
pada pemahaman sejumlah nas, ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw yang
mengisyaratkan tujuan perkawinan. Ada sejumlah nas yang berbicara
sekitar tujuan perkawinan, yaitu: Al-Baqarah (2): 187 dan 223; an-Nisa’
(4): 1, 9, 24; an-Nahl (16): 72; al-Mu’minum (23): 5-7; an-Nur (24): 33;
ar-Rum (30): 21; asy-Syura (42): 11; al-Ma’arij (70): 29-31; dan
at-Tariq (86): 6-7. Sementara sunnah Nabi Muhammad saw yang berbicara
tentang tujuan perkwinan ialah:
1- تناكحوا تكاثروا فإنى أباهى بكم الامم يوم القيامة
2- يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض بالبصر واحصن للفرج….
3- ومن تزوج فقد احرز شطر دينه فليتق الله فى الشطر الباقى
4- تزوجوا الولود فإنى مكاثر بكم الامم يوم القيامة
5- ولكنى أصوم وافطر وأصلى وارقد واتزوج النساء من رغب عن سنتى فليس منى
Dari sejumlah nas tersebut kalau disimpulkan akan terlihat minimal
lima tujuan umum perkawinan, yakni: (1) memperoleh ketenangan hidup yang
penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, wa rahmah) sebagai
tujuan pokok dan utama, yang kemudian dibantu dengan tujuan: (2) tujuan
reproduksi (penerusan generasi), (3) pemenuhan kebutuhan biologis
(seks), (4) menjaga kehormatan, dan (5) ibadah. Urutan nomor tidak
menunjukkan urutan prioritas, kecuali urutan nomor 1. Artinya, tujuan
nomor 2 dapat menempati urutan nomor 4 misalny (Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 (2005): 37-38). Berikut uraian dari kelima tujuan tersebut.
1. Memperoleh kehidupan sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Tujuan ini dapat dicapai secara sempurna apabila tujuan-tujuan lain
dapat terpenuhi. Dengan ungkapan lain, tujuan-tujuan lain adalah sebagai
pelengkap untuk memenuhi tujuan utama ini. Dengan tercapainya tujuan
reproduksi, tujuan memenuhi kebutuhan biologis, tujuan menjaga diri, dan
ibadah, dengan sendirinya insya Alla tercapai pula ketenangan, cinta
dan kasih sayang. Inilah yang dimaksud dengan tujuan lain sebagai
pelenklap untuk mencapai tujuan pokok atau utama. Tujuan mendapat sakinah, mawaddah wa rahmah, disebutkan dalam surat ar-Rum ayat 21:
ومن اياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة …
سكينة berasal dari kata سكن yang berarti tenang atau diamnya
sesuatu setelah bergejolak. Perkawinan adalah pertemuan antara pria dan
wanita yang kemudian menjadikan kerisauan antara keduanya menjadi
ketentraman atau sakinah menurut bahasa al_Qur’an (ar-Rum (20):
21). Penyebutan سكين untuk pisau adalah karena pisau itu alat sembelih
yang menjadikan binatang yang disembelih tenang.
Dari beberapa ayat yang lain juga menunjukkan bahwa hubungan suami
dan isteri adalah hubungan cinta dan kasih sayang, misalnya al-Qur’an
menggambarkan hubugan Adam dan Hawa. Dalam surat al-Baqarah (2): 187
bahwa suami dan isteri sebagai pakaian antara keduanya ” hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna”.
Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa hubungan suami isteri adalah
hubungan cinta dan kasih saying dan bahwa ikatan perkawinan pada
dasarnya tidak dapat dibatasi hanya dengan pelayanan yang bersifat
material dan biologis saja. Pemenuhan kebutuhan material, spt makanan,
pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya hanya sebagai sarana untuk
mencapai kebutuhan yang lebih mulia dan tinggi, yakni kebutuhan rohani,
cinta, kasih saying, dan barakah dari Allah. Asumsinya, pelayanan yang
bersifat material akan diikuti dengan hubungan batin, yakni cinta dan
kasih sayang.
2. Reproduksi/regenerasi
Tujuan yang kedua ini untuk mengembangbiakan ummat manusia
(reproduksi) di muka bumi dapat dilihat dalam beberapa ayat dan hadis di
bawah ini:
a. Asy-Syura (42): 11. Manusia dan binatang diciptakan secara berpasangan dari jenisnya sendiri agar berkembang biak.
b. An-Nahl (16): 72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isterimu itu
anak-anak dan cucu-cucu dan member rezeki dari yang baik-baik
c. An-Nisa’ (4): 1. Allah menciptakan kamu dari seorang diri,
kemudian daripadanya menciptakan isterinya dan dari keduanya
mengemabangbiakan manusia laki-laki dan perempuan.
d. Hadis Nabi yang memerintahkan untuk menikah dengan pasangan yang penuh kasih dan subur (produktif).تزوجوا الودود الولود …
e. Hadis nabi yang memerintahkan kawin agar jumlah ummat banyak:تناكحوا تكاثرو…
Nas di atas menunjukkan tujuan pentingnya reproduksi agar umat Islam
kelak di kemudian hari menjadi umat yang banyak dan tentu saja
berkualitas, karena juga kita diperingatkan untuk tifdk meninggalkan
generasi yang lemah (an-Nisa’ (4): 9)
Apabila dibandingkan terdapat perbedaan antara surat asy-Syura (42):
11 yang menunjukkan perkembangbiakan binatang ternak dengan surat ar-Rum
(20): 21 yang menunjukkan regenerasi manusia, yaitu ketika menyebut
regenarasi manusia disebutkan kalimat mawaddah wa rahamah tetapi tidak disebutkan ketika berbicara tentang binatang.
3. Pemenuhan kebutuhan biologis
Tujuan ketiga, pemenuhan biologis (seksual) dapat dlihat dalam beberapa ayat dan hadis:
a. Surat al-Baqarah (2): 187: Dihalalkan pada malam hari puasa
bercampur dengan isteri-isterimu, mereka pakaian bagimu dan kamu pakaian
bagi mereka.
b. Surat al-Baqarah (2): 223: Isteri-isterimu seperti tanah tempat
kamu becocok tanam, datangilah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja
kamu mau.
c. Surat an-Nur (24): 33: Orang-orang yang belum mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian diri sampai Allah memberi kemampuan.
Budak-budak perempuan yang kamu miliki jangan dipaksa untuk melakukan
pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. Buatlah
perjanjian dengan mereka.
d. Surat al-Ma’arij (70): 29-31 dan surat al-Mu’minun (23): 5-7:
Orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali kepada isteri mereka
atau budak-budak yang mereka miliki. Barang siapa yang mencari dibalik
itu maka mereka itulah orang-orang yanag melampaui batas.
e. HadisNabi:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض بالبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء.
Nas yang secara langsung menunjukkan pemenuhan kebutuhan biologis
adalah Surat al-Baqarah (2): 187 dan surat al-Baqarah (2): 223 ditambah
dengan hadis di atas. Sementara surat an-Nur (24): 33 menunjukkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh orang membutuhkan nikah tetapi tidak atau
belum mampu. Adapun Surat al-Ma’arij (70): 29-31 dan surat al-Mu’minun
(23): 5-7 lebih menekankan pada upaya usaha menjagala
kemaluan/kehormatan.
4. Menjaga kehormatan
Tujuan keempat dari perkawinan ialah untuk menjaga kehormatan.
Dimaksud dengan kehormatan ialah kehormtan diri sendiri, anak dan
keluarga. Tujuan ini tersirat di samping dalam ayat-ayat yang
mengutarakan tujuan pemenuhan biologis, yaitu Surat al-Ma’arij (70):
29-31 dan surat al-Mu’minun (23): 5-7: juga dalam an-Nisa (4): 24:
واحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا باموالكم محصنين غير مسافحين
فمااستمتعتم به منهن أجورهن فريضة ولاجناح عليكم فيما تراضيتم به من بعض
الفريضة إن الله كان عليما حكيما
“Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian itu (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikamti (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban, dan tidak
mengapa merelakan mahar yang sudah ditentukan.”
Dengan demikian menjaga kehormatan harus menjadi satu kesatuan dengan
tujuan pemenuhan biologis. Artinya di samping untuk memenuhi kebutuhan
biologis, perkawinan juga bertujuan untuk menjaga kehormatan. Apabila
hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, seorang laki-laki atau peremuan
dapat saja mencari pasangan lawan jenisnya, lalu melakukan hubungan
badan untuk memenuhi kebutuan biologisnya. Tetapi dengan itu ia akan
kehilngan kehormatan. Sebaliknya dengan perkawinan dua kebutuhan
tersebut dapat terpenuhi kepada Allah, yakni kebutuhan seksualnya
terpenuhi, demikian juga kehormatan terjaga.
5.Ibadah
Tujuan perkawinan yang kelima ialah untuk mengabdi dan beribadah
kepada Allah, tersirat dari beberapa nas yang sebelumnya sudah
disebutkan. Di antaranya ialah hadis Nab yang menyebutkan: ومن تزوج فقد
احرز شطر دينه فليتق الله فى الشطر الباقى(seseorang yang melakukan
perkawinan sama dengan seseorang yang melakukan setengah agama).
Nas ini sangat tegas menyebut bahwa melakukan perkawinan adalah
bagian dari melakukan agama. Melakukan perintah dan anjuran agama tentu
bagian dari ibadah. Dengan demikian maka menjadi jelas bahwa melakukan
perkawinan adalah bagian dari ibadah. Nas lain sekalipun tida secara
tegas tetapi makna tersirat, misalnya hadis Nabi Muhammad saw yang
mempunyai harapan pribadi agar umatnya dapat berjumlah banyak pada akhir
zaman nanti. Pada dasarnya hadis ini menjelaskan tujuan reproduksi
dalam perkawinan, yaitu untuk meneruskan keturun dan memperbanyak ummat
Muhammad, bukan tujuan ibadah. Tetapi dengan mengikuti sunnah Nabi sama
artinya dengan melakukan ibadah. Oleh karena itu menjadi jelas bahwa
dengan menjalanakan perkawinan sebagaibagian dari melakukan snnah Nabi
Muhammad saw berarti juga melakukan ibadah.
Sebagai tambahan, sekalipun bukan tujuan perkawinan tetapi dapat
disebut dan penting dipahami, bahwa dalam perkawinan bukan hanya urusan
ibadah murni, tetapi di dalamnya juga ada unsure social. Oleh karena itu
menjadi tidak tepat kalau ada orang mengatakan dan berpendapat bahwa
perkawinan hanya urusan pribadi dengan Allah, dan tidak perlu campur
tangan orang lain dan pemerintah. Sebab sejumlah hadis menunjukan bahwa
perkawinan juga ada unsure social kemasyarakatan, yang karenanya penting
keterlibatan orang lain dan pemerintah. Untuk membedakan nikah sirri
dengan nikah bukan sirri, antara lain harus ada I’lan nikah,
pemberitahuan kepada masyarakat luas, seperti disebutkan dalam hadis
اعلنوا هذا النكاح واضربوا عليه بالغربال (Umumkanlah perkawinan dan
pukullah rebana). Dari hadis ini menunjukkan bahwa dalam perkawinan ada
unsure sosial yang harus dijaga para pasangan. Dengan demikian aturan
pemerintah untuk mencatatkan perkawinan termasuk dalam koridor
kepentingan dan unsure sosial dan pemerintahan yang harus diakui oleh
semua oang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah
tujuan yang menyatu dan terpadu (integral dan indukti). Artinya semua
tujuan itu harus diletakan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling
berkaitan. Tujuan reproduksi tidak bisa dipisahkan dari tujuan pemenuhan
kebutuhan biologis, tujuan memperoleh kehidupan yang tentram penuh
cinta dan kasih sayang, tujuan menjaga kehormatan, dan tujuan ibadah.
dst.
D. Prinsip-prinsip/Asas-asas Perkawinan
Dimaksud dengan prinsip dalam bahasan ini ialah dasar-dasar atau
norma-norma umum, dasar-dasar yang seharusnya dipegangi dan sekaligus
dilakukan oleh pasangan dalam menempuh bahtera rumah tangga. Apa saja
prinsip perkawinan itu? terdapat perbedaan di kalangan para ahli
mengenai jumlahnya. Menurut Khoiruddin Nst. (Hukum Perkawinan 1, hlm. 55
dst), ada sejumlah nas (al-Qur’an dan as-sunnah) yang berbicara sekitar
prinsip perkawinan. Nas dimaksud adalah al-Baqarah (2): 187, 228, 233;
an-Nisa’ (4): 9, 19, 32, 58; an-Nahl (16): 90; at-Talaq (65): 7,
ditambah dengan beberapa sunnah Nabi Muhammad saw.
Dari nas tersebut ada beberapa prinsip yang harus dipegangi oleh
suami isteri sebagai pasangan dalam rumah tangga bahakan juga sekaligus
harus dipegangi dan diamalkan oleh seluruh anggota keluarga, yaitu
suami, isteri dan anak-anak, untuk dapat mencapai tujuan perkawinan
seperti disebutkan sebelumnya. Dengan memperhatikan apa yang
dikemukakan oleh Khoiruddin Nasution yang menyebutkan ada lima (5)
prinsip perkawinan serta memperhatikan pendapat para ahli lainnya,
dapat dikemukakan bahwa . prinsip atau asas-asas perkawinan itu antara
lain:
1. Musyawarah dan Demokrasi
Adanya kehidupan yang serba musyawarah dan demokrasi dalam kehidupan
rumah tangga berarti bahwa dalam segala aspek kehidupan dalam rumah
tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan hasil musyawarah
minimal antara suami dan isteri, kalau dibutuhkan, juga melibatkan
seluruh anggota kluarga, suami, isteri, dan anak-anak. Adapun maksud
demokrasi adalah bahwa antara suami dan isteri harus saling terbuka
untuk menerima pandangan dan pendapat pasangan. Demikiann juga antara
orang tua dan anak harus menciptakan suasana yang saling menghargai dan
menerima pandangan dan pendapat anggota keluarga lain. Masih sebagai
realisasi dari sikap demokratis, suami dan issteri harus menciptakan
suasana yang kondusif untuk munculnya rasa persahabatan di antara
anggota keluarga dalam berbagai suka dan duka, dan merasa mempunyai
kedudukan yang sejajar dan bermitra, tidak ada pihak yang merasa lebih
hebat dan lebih tinggi kedudukannya, tidak ada pihak yang mendominasi
dan menguasai. Dengan prinsip musyawarah dan dwmokrasi ini diharapkan
memunculkan kondisi yang saling melengkapi dan saling mengisi antara
satu dengan yang lain.
Prinsip musyawarah dalam hubungan keluarga antara lain ditunjukkan oleh firman Allah:
a. Surat at-Talaq (65): 6
اسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن ….وأتمروا بينكم بمعروف……
Ayat ini secara khusus berbicara tentang hak isteri yang ditalak,
yaitu agar suami menyediakan tempat tinggal, memberikan nafkah bagi
isteri hamil yang dicerai dan hak susuan bagi anak. ………
b. Surat al-Baqarah (2): 233
والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن اراد أن يتم الرضاعة …. وتشاور فلا جناح عليهما …..
Ayat ini membicarakan perihal penyusuan anak …….
c. Surat an-Nisa’ (4): 19
يايها الذين امنوا لا يحل لكم ان ترثوا النسآء كرها ولا تعضلوهن لتذهبوا
ببعض ما اتيتموهن الا ان يأتين بفاحشة مبينة وعاشروهن بالمعروف فإن
كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
Dalam ayat ini pun terdapat perintah untuk bergaul antara suami
isteri dalam keluarga secara baik. Salah satu aspek untuk bergaul secara
baik adalah saling mendengar pendapat pasangan, beriskusi dan
berdialog.
Realisasi lebih jauh dari sikap musyawarah, demokratis dan dilog dpat
dikelompokkan keada: (1) musyawarah dalam memutuskan masalah-masalah
yang berhubungan dengan reproduksi, jumlah, dan pendidikan anak; (2)
musyawarah dalam menentukan tempat tinggal; musyawarah dalam memutuskan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga; (4)
musyawarah dalam pembagian tugas rumah tangga.
2. Menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga
Dimaksud dengan prinsip menciptakan kehidupan keluarga yang aman,
nyaman dan tenteram berarti bahwa dalam kehidupan rumah tangga harus
tercipta suasana merasa saling kasih, saling asih, saling cinta, saling
melindungi dan saling sayang. Setiap anggota keluarga, suami, isteri dan
anak-anak wajib dan sekaligus berhak mendapatkan kehidupan yang penuh
cinta, penuh kasih sayang, dan penuh ketentraman. Dengan adanya
keseimbangan antara kewajiban dan hak untuk mendapatkan kehidupan yang
aman, nyaman, dan tentram, diharapkan semua anggota keluarga saling
merindukan satu dengan yang lain. Dengan kehidupan yang demikian
diharapkan pula tercipta hubungan yang harmonis.
Apabila prinsip di atas bisa terlaksana maka rumah tangga menjadi
tempat yang nyaman bagi anggota keluarga. Angota keluarga tidak lagi
membutuhkan tempat atau teman yang lebih nyaman dan aman dibandingkan
dengan yang ditemukan di rumah. Penyebab menagapa anak mencari
alternative teman atau tempat di luar rumah, bahkan ada yang sampai
terlibat penggunaan obat terlarang, adalah karena rumah dirasakan bukan
sebagai tempat aman dan nyaman. Demikian juga suami yang mencari wanita
di luar isteri atau isteri yang mencari laki-laki di luar suami adalah
disebabkan karena rumah tidak dapat memberikan apa yang dibutuhkan,
yaitu rumah yang aman dan nyaman.
Adapun rasa aman dan tentram dimaksud adalah aman dan tentram
dalamkehidupan kejiwaan (psikhis) maupun jasmani n(fisik), bersifat
rohani maupun materi.
3. Menghindari adanya kekerasan
Prinsip ketiga, menghindari kekerasan (violence) baik dari segi fisik
maupun psikis (rohani). Maksud dari terhindar dari kekerasan fiik dalam
kehidupan rumah tangga adalah, bahwa jangan sampai ada pihak dalam
keluarga yang merasa berhak memukul atau melakukan tindak kekerasan lain
dalam bentuk apapun, dengan dalih atau alasan apapun, baik kepada atau
antar pasangan maupun antara pasangan dengan anak-anak.
Adapun terhindar dari kekerasan psikologi, bahwa suami dan isteri
harus mampu menciptaan suasana kejiwaan yang aman, merdeka, tentram dan
bebas dari segala bentuk ancaman yang bersifat kejiwaan, baik dalam
bentuk kata atau kalimat sehari-ahri yang digunakan maupun panggilan
antara anggota keluarga. Oleh karena itu seluruh anggota keluarga
dilarang mengeluarkan kata-kata atau sapaan yang dapat mengakibatkan
anggota keluarga lain merasa ketakutan atau merasa terancam atau merasa
kurang aman. Bahkan jangan sampai ada pihak merasa tersinggung baik baik
karena ucapan maupun karena panggilan.
Prinsip pergaulan dan kehidupan yang damai, tentram, sejahtera dan
penuh asih ini dapat dilihat dalam sejumlah ayat al-Qur’an di antaranya
dalam surah an-Nisa’ ayat 19: “wa ‘asyiruuhunna bi al-ma’ruf”.
4. Hubungan suami dan isteri sebagai hubungan partner
Prinsip bahwa suami dan isteri adalah pasangan yang mempunyai
hubungan bermitra, partner, dan sejajar (equal) dapat dijelaskan sbb.
a. Menurut surat al-baqarah (2): 187:“Hunna libaasu lakum wa antum libaasu lahunna”
Bahwa antara suami isteri ibarat pakaian bagi pasangannya. Pakaian
dapat berfungsi dalam segala kondisi dan keadaan. Dalam musim dingin
pakaian menjadi bahan penghangat bagi pemakainya. Pakaian juga dapat
digunakan sebgai alata penutup dari pandangan orang lain, dll.
b. Menurut surat al-Baqarah (2): 228. Bahwa para isteri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya secara ma’ruf.
c. Surat an-Nisa’ (4): 32. Jangan ada iri hati terhadap yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu, karena orang laki-laki ada
bagian dari yang mereka usahakan dan bagi orang perempuan juga ada
bagian dari apa yang mereka usahakan.
Selain diisyaratakan oleh tiga ayat di atas, bahwa suami isteri harus
bermitra dan sejajar, juga tujuan perkawinan akan tercapai dengan baik
apabila suami isteri itu bermitra dan memposisikan sebagai pasangan yang
sejajar.
Implikasi dari pasangan yang bermitra dan sejajar ini muncul sikap:
(1) saling mengerti, mengerti latar belakang pribadi
pasanganmasing-masing dan mengerti diri sendiri; (2) saling menerima,
terimalah ini sebagaimana adanya, terima kekurangan dan kelebihannya,
(3) saling menghormati, (4) saling mempercayai, (5) saling mencintai
dengan cara lemah lembut dalam pergaulan dan pembicaraan, menunjukkan
perhatian kepada suami/isteri, bijaksana dalam pergaulan, menjauhi sikap
egois, tidak mudah tersinggung dan menunjukkan rasa cinta.
5. Prinsip keadilan
Yang dimaksud dengan keadilan di sini adalah menematkan sesuatu pada
posisi yang semestinya (proporsional). Jabaran dari prinsip keadilan di
sini di antaranya bahwa kalau ada di antara pasangan atau anggota
keluarga (anak-anak) yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri
Hrua didukung tanpa memandang dan membedakan berdasarkan jenis kelamin.
Misalnya isteri mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri, maka
suami seharusnya mendukung dan bahkan memmbantu kemajuan isteri
tersebut. Kalau ada anngota keluarga (anak-anak) yang mempunyai
kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
harus diberi kesempatan yang sama tanpa membedakan jenis kelamin. Oleh
karena itu tidak tepat kalau misalnya orang tua memberikan sokongan yang
berlebihan kepada anak laki-laki untuk sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi padahal anaknya tidak mampu, sementara anak peremuan tidak diberi
kesempatan padahal dia mampu, semata-mata kaena dia perempuan.
Masih dalam prinsip keadilan, bahwa masing-masing anggota keluarga
harus sadar sepenuhnya bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga yang
harus mendapat perhatian. Kewajiban untuk menuntaskan tugas kantor,
tugas bertani, tugas sekolah, dan sebagainya, harus diimbangi dengan
kewajiban untuk memberikan perhatian kepada anggota keluarga. Sebagai
contoh, bapak yang bekerja dn mempunyai kewajiban di kantor (kalau
pekerja kantor) atau di sawah, di kebun (kalau petani) juga mempunyai
kewajiban untuk memberikan perhatian kepada anak-anak dan isterinya.
Demikian halnya dengan isteri, dan anggota keluarga lainnya.
Prinsip keadilan ini banyak disebutkan dalam al-Qur’an sekalipun
tidak secara langsung disebutkan dalam persoalan-persoalan keluarga dan
rumah tangga. Seperti perintah menyerahkan perkara kepada ahlinya
(an_Nisa’: 58), perintah berlaku adil dalam berbgai hal dan berbuat
kebajikan (an-Nahl: 90).
Untuk menjamin tercapainya tujuan perkawinan sebagai perkawinan yang
penuh kedamaian, ketentraman, dan kasih sayang, ada tiga syarat yang
harus dipenuhi dan diamalkan oleh suami isteri, di samping
prinsip-prinsip di atas, yaitu: (1) sebagai pasangan, suami isteri harus
saling menghargai dan menghormati, (2) suami dan isteri harus merasa
saling membutuhkan, (3) suami dan isteri harus merasa tidak lengkap
tanpa pasangannya. Inilah yang disebut prinsip pokok.
Prinsip-prinsip perkawinan di atas adalah menurut Khoiruddin
Nasution. Apabila diperhatikan prinsip perkawinan yang dikemukakan oleh
Khaoiruddin Nasution adalah prinsip perkawinan yang menekankan kepada
hubungan suami dan isteri, serta hubungan orang tua dengan anak dalam
kehidupan keluarga.
Sementara itu ada juga ulama/sarjana yang membahas prinsip perkwinan
lebih menekankan kepada prinsip melakukan perkawinan. Hal ini umpamanya
dalam buku Ilmu Fiqh jilid II yang diterbkan oleh Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama R.I,
1984/1985 (halaman 69 dst), menyebutkan bahwa prinsip-prinsip
perkawinan, antara lain:
1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama
Sebagaimana the dijelaskan bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, hal
ini berarti bahwa melaksanakan perkawinan pada hakekatnya merupakan
pelaksanaan dari ajaran agama.
2. Kerelaan dan Persetujuan
Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan perkawinan adalah ikhtiyar (tidak
dipaksa). Kerelaan para pihak yang melangsungkan perkawinan tercermin
dan dirumuskan dengan kata-kata kerelaan calon isteri dan suami atau
persetujuan mereka. Kerelaan dari calon suami dan wali dapat dilihat dan
didengar dari tindakan dan ucapannya ketika melakukan akad nikah,
sedangkan kerelaaan calon isteri, mengingat wanita mempunai ekspresi
kejiwaan yang berbeda dengan pria, dapat dilihat dari sikapnya umpamanya
diam, tidak memberikan reaksi penolakkan dipandang sebagai ijin
kerelaannya bila ia gadis, tetapi apabila calon isteri itu janda maka
ijinnya harus tegas.
Ada beberapa hadis terkait dengan kerelaan ini, seperti hadis yang
menyebutkan larangan menikahkan janda sampai ia memberikan keijinan dan
larangan menikahkan anak gadis sebelum diminta persetujuannya dan kalau
ia ditanya diam hal itu menunjukan persetujuannya.
Ada juga hadis yang menerangkan bahwa seorang ayah telah menikahkan
anaknya yang janda tanpa persetujuannya. Si anak karena tidak setuju
lalu mengadu keada Nabi dan Nabi membatalkan pernikahan terebut.
Ada juga hadis yang menjelaskan bahwa Nabi memberi kebebasan kepada
anak gadis yang dinikahkan tanpa persetujuannya, yaitu kalau ia nanti
sudah dewasa berhak untuk memilih antara membatalkan perkawinan atau
meneruskan perkawinan.
3. Perkawinan untuk selamanya
Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat berketurunan (regenerasi)
dan untuk ketentraman, ketenangan, dan cinta kasih. Kesemuanya ini dapat
dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya,
bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Oleh karena perkawina dilakukan
untuk selamanya, maka upaya ke arah terben-tuknya perkawinan yang
langgeng sejak sebelum perkawinan diperbolehkan bahkan disyari’atkan
oleh Islam. Antara lain disyari’atkannya khitbah (melamar) dan
sebelumnya calon suami dan calon isteri sudah saling “melihat”, sehingga
nantinya tidak ada penyesalan di kemudian hari. Karena prinsip
perkawinan dalam Islam itu untuk selamanya, bukan hanya untuk satu masa
tertentu saja, maka Ialam tidak membenarkan:
a. Akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu perkawinan, untuk 1 tahun, 6 bulan, 3 minggu umpamanya.
b. Nikah mut’ah
c. Nikah muhallil
4. Monogami dan poligami
Pada dasarnya perkawinan menurut Islam adalah monogamy, tetapi dalam
kondisi tertentu diperbolehkan seorang laki-laki mempunyai isteri lebih
dari satu (poligami) dengan syarat harus berlaku adil. Kebolehan
poligami bukanlah kebolehan yang bebas dan terbuka, melainkan hanya
sebagai jalan keluar saja. Oleh karena itu pula Islam tidak menutup
rapat pintu poligami.
0 komentar:
Posting Komentar